TASAWUF DAN ILMU LADUNI
Ilmu kasyaf atau yang lebih dikenal dengan ilmu laduni
(ilmu batin) tidaklah asing ditelinga kita, lebih – lebih lagi bagi siapa saja
yang sangat erat hubungannya dengan tasawuf beserta tarekat-tarekatnya. Kata
sebagian orang: “Ilmu ini sangat langka dan sakral. Tak sembarang orang bisa
meraihnya, kecuali para wali yang telah sampai pada tingkatan ma’rifat.
Sehingga jangan sembrono untuk buruk sangka, apalagi mengkritik wali-wali yang
tingkah lakunya secara dhahir menyelisihi syariat. Wali-wali atau gus-gus itu
beda tingkatan dengan kita, mereka sudah sampai tingkatan ma’rifat yang tidak
boleh ditimbang dengan timbangan syari’at lagi”. Benarkah demikian? Inilah
topik yang kita kupas pada kajian kali ini.
Hakikat Ilmu Laduni
Kaum
sufi telah memproklamirkan keistimewaan ilmu laduni. Ia merupakan ilmu yang paling agung dan puncak dari
segala ilmu. Dengan mujahadah, pembersihan dan pensucian hati akan terpancar
nur dari hatinya, sehingga tersibaklah seluruh rahasia-rahasia alam ghaib bahkan
bisa berkomunikasi langsung dengan Allah, para Rasul dan ruh-ruh yang lainnya,
termasuk nabi Khidhir. Tidaklah bisa diraih ilmu ini kecuali setelah mencapai
tingkatan ma’rifat melalui latihan-latihan, amalan-amalan, ataupun
dzikir-dzikir tertentu.
Ini
bukan suatu wacana atau tuduhan semata, tapi terucap dari lisan tokoh-tokoh
tenar kaum sufi, seperti Al Junaidi, Abu Yazid Al Busthami, Ibnu Arabi, Al
Ghazali, dan masih banyak lagi yang lainnya yang terdapat dalam karya-karya
tulis mereka sendiri.
Al
Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin 1/11-12 berkata:
“Ilmu kasyaf adalah tersingkapnya tirai penutup, sehingga kebenaran dalam
setiap perkara dapat terlihat jelas seperti menyaksikan langsung dengan mata
kepala … inilah ilmu-ilmu yang tidak tertulis dalam kitab-kitab dan tidak
dibahas … “. Dia juga berkata: “Awal dari tarekat, dimulai dengan mukasyafah
dan musyahadah, sampai dalam keadaan terjaga (sadar) bisa menyaksikan atau
berhadapan langsung dengan malaikat-malaikat dan juga ruh-ruh para Nabi dan mendengar
langsung suara-suara mereka bahkan mereka dapat langsung mengambil ilmu-ilmu
dari mereka”. (Jamharatul Auliya’: 155)
Abu
Yazid Al Busthami berkata: “Kalian mengambil ilmu dari orang-orang yang
mati. Sedang kami mengambil ilmu dari Allah yang Maha Hidup dan tidak akan
mati. Orang seperti kami berkata: “Hatiku telah menceritakan kepadaku dari
Rabbku”. (Al Mizan: 1/28)
Ibnu
Arabi berkata: “Ulama syariat mengambil ilmu mereka dari
generasi terdahulu sampai hari kimat. Semakin hari ilmu mereka semakin jauh
dari nasab. Para wali mengambil ilmu mereka langsung dari Allah yang dihujamkan
ke dalam dada-dada mereka.” (Rasa’il Ibnu Arabi hal. 4)
Dedengkot wihdatul wujud ini juga berkata:
“Sesungguhnya seseorang tidak akan sempurna kedudukan ilmunya sampai ilmunya
berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla secara langsung tanpa melalui perantara, baik
dari penukilan ataupun dari gurunya. Sekiranya ilmu tadi diambil melalui
penukilan atau seorang guru, maka tidaklah kosong dari sistim belajar model
tersebut dari penambahan-penambahan. Ini merupakan aib bagi Allah ‘Azza wa
Jalla – sampai dia berkata – maka tidak ada ilmu melainkan dari ilmu kasyaf dan
ilmu syuhud bukan dari hasil pembahasan, pemikiran, dugaan ataupun taksiran
belaka”.
Ilmu Laduni Dan Dampak
Negatifnya Terhadap Umat
Kaum sufi dengan ilmu laduninya memiliki
peran sangat besar dalam merusak agama Islam yang mulia ini. Dengannya
bermunculan akidah-akidah kufur -seperti diatas – dan juga amalan-amalan
bid’ah. Selain dari itu, mereka secara langsung ataupun tidak langsung terlibat
dalam kasus pembodohan umat. Karena menuntut ilmu syar’i merupakan pantangan
besar bagi kaum sufi. Berkata Al Junaidi: “Saya anjurkan kepada kaum sufi
supaya tidak membaca dan tidak menulis, karena dengan begitu ia bisa lebih
memusatkan hatinya. (Quutul Qulub 3/135)
Abu Sulaiman Ad Daraani berkata: “Jika
seseorang menuntut ilmu hadits atau bersafar mencari nafkah atau menikah
berarti ia telah condong kepada dunia”. (Al Futuhaat Al Makiyah 1/37)
Berkata Ibnul Jauzi: “Seorang guru sufi
ketika melihat muridnya memegang pena. Ia berkata: “Engkau telah merusak
kehormatanmu.” (Tablis Iblis hal. 370)
Oleh karena itu Al Imam Asy Syafi’i
berkata: “Ajaran tasawuf itu dibangun atas dasar rasa malas.” (Tablis
Iblis:309)
Tak sekedar melakukan tindakan pembodahan
umat, merekapun telah jatuh dalam pengkebirian umat. Dengan membagi umat
manusia menjadi tiga kasta yaitu: syariat, hakekat, dan ma’rifat, seperti
Sidarta Budha Gautama membagi manusia menjadi empat kasta. Sehingga seseorang
yang masih pada tingkatan syari’at tidak boleh baginya menilai atau mengkritik
seseorang yang telah mencapai tingkatan ma’rifat atau hakekat.
Syubhat-Syubhat Kaum Sufi
Dan Bantahannya
1.
Kata laduni mereka petik dari ayat Allah yang berbunyi:
وَعَلَمَّنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
“Dan kami telah ajarkan kepadanya (Nabi
khidhir) dari sisi Kami suatu ilmu”. (Al Kahfi: 65)
Mereka memahami dari ayat ini adanya ilmu
laduni sebagaimana yang Allah anugerahkan ilmu tersebut kepada Nabi Khidhir.
Lebih anehnya mereka meyakini pula bahwa Nabi Khidhir hidup sampai sekarang dan
membuka majlis-majlis ta’lim bagi orang-orang khusus (ma’rifat).
Telah menjadi ijma’ (kesepakatan) seluruh
kaum muslimin, wajibnya beriman kepada nabi-nabi Allah tanpa membedakan satu
dengan yang lainnya dan mereka diutus khusus kepada kaumnya masing-masing. Nabi
Khidhir diutus untuk kaumnya dan syari’at Nabi Khidhir bukanlah syari’at bagi
umat Muhammad. Rasulullah bersabda:
كَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
“Nabi yang terdahulu diutus khusus kepada
kaumnya sendiri dan aku diutus kepada seluruh umat manusia” (Muttafaqun
‘alaihi)
Allah berfirman (artinya):
“Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad),
melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan peringatan”.
(As Saba’: 28)
Adapun keyakinan bahwa Nabi Khidhir masih
hidup dan terus memberikan ta’lim kepada orang-orang khusus, maka bertentangan
dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Allah berfirman (artinya): “Kami tidak
menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad). (Al
Anbiya’: 34)
Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ مَنْفُوْسَةٍ اليَوْمَ تَأْتِيْ عَلَيْهَا مِائَةُ سَنَةٍ وَهِيَ يَوْمَئِذٍ حَيَّةٌ
“Tidak satu jiwapun hari ini yang akan
bertahan hidup setelah seratus tahun kedepan”. (H.R At Tirmidzi dan Ahmad)
Adapun keyakinan kaum sufi bahwa seseorang
yang sudah mencapai ilmu kasyaf, akan tersingkap baginya rahasia-rahasia alam
ghaib. Dengan cahaya hatinya, ia bisa berkomunikasi dengan Allah, para Rasul,
malaikat, ataupun wali-wali Allah. Pada tingkatan musyahadah, ia dapat
berinteraksi langsung tanpa adanya pembatas apapun.
Cukup dengan pengakuannya mengetahui ilmu
ghaib, sudah bisa dikatakan ia sebagai seorang pendusta. Rasul e adalah seorang
yang paling mulia dari seluruh makhluk Allah, namun e tidaklah mengetahui ilmu
ghaib kecuali apa yang telah diwahyukan kepadanya.
“Dia (Allah) yang mengetahui ilmu ghaib,
maka Dia tidak memperlihatkan seseorangpun tentang yang ghaib kecuali dari para
rasul yang diridhai-Nya”. (Al Jin: 25-26)
Apalagi mengaku dapat berkomunikasi dengan
Allah atau para arwah yang ghaib baik lewat suara hatinya atau berhubungan
langsung tanpa adanya pembatas adalah kedustaan yang paling dusta. Akal sehat
dan fitrah suci pasti menolaknya sambil berkata: “Tidaklah muncul omongan
seperti itu kecuali dari orang stres saja”. Kalau ada yang bertanya, lalu suara
dari mana itu? Dan siapa yang diajak bicara? Kita jawab, maha benar Allah dari
segala firman-Nya: “Apakah akan Aku beritakan, kepada siapa syaithan-syaithan
itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa, mereka
menghadapkan pendengaran (kepada syaithan) itu, dan kebanyakan mereka
orang-orang pendusta”. (Asy Syu’ara: 221-223)
2.
Sebagian kaum sufi berkilah dengan pernyataannya bahwa ilmu laduni (Al Kasyaf)
merupakan ilham dari Allah (yang diistilahkan wangsit). Dengan dalih hadits
Nabi Muhammad:
إِنَّهُ قَدْ كَانَ قَبْلَكُمْ فِيْ الأَمَمِ مُحَدَّثُوْنَ فَإِنْ يَكَنْ فِيْ أُمَّتِي أَحَدٌ فَعُمَر
“Dahulu ada beberapa orang dari umat-umat
sebelum kamu yang diberi ilham. Kalaulah ada satu orang dari umatku yang diberi
ilham pastilah orang itu Umar.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Hadits ini sama sekali tidak bisa
dijadikan hujjah bagi mereka. Makna dhohir hadits ini, menunjukkan keberadaan
ilham itu dibatasi dengan huruf syarat (kalaulah ada). Maksudnya, kalaupun ada
di umat ini, pastilah orang yang mendapatkan ilham adalah Umar Ibnul Khathab.
Sehingga beliau digelari al mulham (orang yang mendapatkan ilham). Dan bukan
menunjukkan dianjurkannya cari wangsit, seperti petuah tokoh-tokoh tua kaum
sufi. Bagaimana mereka bisa memastikan bisikan-bisikan dalam hati itu adalah
ilham? Sementara mereka menjauhkan dari majlis-majlis ilmu yang dengan ilmu
syar’i inilah sebagai pemisah antara kebenaran dengan kebatilan.
Mereka berkilah lagi: “Ini bukan
bisikan-bisikan syaithan, tapi ilmu laduni ini merubah firasat seorang mukmin,
bukankah firasat seorang mukmin itu benar? Sebagaimana sabda Rasulullah e:
“Hati-hati terhadap firasat seorang mukmin. Karena dengannya ia melihat cahaya
Allah”. (H.R At Tirmidzi)
Hadits ini dho’if (lemah), sehingga tidak
boleh diamalkan. Karena ada seorang perawi yang bernama Athiyah Al Aufi. Selain
dia seorang perawi yang dho’if, diapun suka melakukan tadlis (penyamaran
hadits).
Singkatnya, ilham tidaklah bisa mengganti
ilmu naqli (Al Qur’an dan As Sunnah), lebih lagi sekedar firasat. Ditambah
dengan adanya keyakinan-keyakinan batil yang ada pada mereka seperti mengaku
mengetahui alam ghaib, merupakan bukti kedustaan diatas kedustaan. Berarti,
yang ada pada kaum sufi dengan ilmu laduninya, bukanlah suatu ilham melainkan
bisikan-bisikan syaithan atau firasat rusak yang bersumber dari hawa nafsu
semata. Disana masih banyak syubhat-syubhat mereka, tapi laksana sarang
laba-laba, dengan fitrah sucipun bisa meruntuhkan dan membantahnya.
HADITS-HADITS DHO’IF DAN
PALSU YANG TERSEBAR DI KALANGAN UMAT
Hadits Ali bin Abi Thalib:
عِلْمُ الْبَاطِنِ سِرٌّ مِنْ أَسْرَارِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَحُكْمٌ مِنْ أَحْكَامِ اللهِ ، يَقْذِفُهُ فِيْ قُلُوْبِ مَنْ يَشَاءَ مِنْ عِبَادِهِ
“Ilmu batin merupakan salah satu rahasia
Allah ‘Azza wa Jalla, dan salah satu dari hukum-hukum-Nya yang Allah masukkan
kedalam hati hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya”.
Keterangan:
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi
di dalam kitab Al Wahiyaat 1/74, beliau berkata: “Hadits ini tidak shahih dan
secara mayoritas para perawinya tidak dikenal”. Al Imam Adz Dzahabi berkata:
“Ini adalah hadits batil”. Asy Syaikh Al Albani menegaskan bahwa hadits ini
palsu. (Lihat Silsilah Adh Dha’ifah no 1227)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar